Suara Anak Nagari, Sumatera Barat

Mari bangkit basamo dan berbuat yang terbaik untuk pemenuhan hak-hak masyarakat korban bencana G 30 S 2009 Sumatera Barat, Anak Nagarilah ujung tombak perjuangan dan harapan rakyat ada dipundakmu...

The Great for Sumbar

Apo Kaba Dunsanak...???

Semoga blog ini dapat menjadi media untuk mengkomunikasikan kepada anda semua masyarakat Sumatera Barat, Indonesia dan Dunia Internasional, tentang realitas penangan kebencanaan Sumatera Barat, agar dapat menjadi bahan referensi bagi kita semua dalam menghadapi persoalan-persoalan kebencanaan di kemudian hari..

Kami berharap dapat menyajikan progress pembangunan karakter Anak Nagari Ranah Minang, bangkit mandiri untuk memperjuangkan hak-haknya..

Rabu, 03 November 2010

Raso dan Pareso

Raso dan Pareso
Bagaimana cara memahami ungkapan ??


Raso dan Pareso, secara harfiah dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan Rasa dan Periksa, merupakan satu dari sekian banyak pepatah atau petuah dalam adat budaya masyarakat Minangkabau. Kira-kira bermakna “harus ada rasa untuk dapat saling merasakan, apa yang dirasakan orang lain dan saling menghormati perasaan tersebut”. Lebih jelasnya, ada rasa untuk saling menghargai diantara sesama kita dalam kehidupan yang berdamping-dampingaan dalam bermasyarakat.

Yang menjadi kurang atau keliru maknanya saat ini dalam kehidupan bermasyarakat di Minang, lebih disebabkan pernyataan dari para tetua atau kelompok yang dituakan secara adat dimasyarakat, menyatakan : “Kalo kita mengungkit-ungkit kesalahan, masalah, ataupun borok dari orang lain, dalam hal dimaksud pemimpin ditengah masyarakat, coba rasakan juga seandainya saja kita berada dalam posisi yang sebaliknya”.

Secara eksplisit pemaknaan tersebut, akan dengan serta merta mengalihkan atau membuat keliru pemahaman setiap orang yang walaupun sudah mengetahui hak-haknya dizholimi oleh pemimpinnya, harus memilih diam dan membiarkan hal tersebut tetap terjadi, atau lebih parehnya lagi melemahkan kekuatan gerakan masyarakat yang ingin hidup dalam kecerdasan berpikir, serta kemandirian dalam memperjuangkan setiap hak yang melekat padanya.

Ada pepatah Minangkabau yang sangat baik, namun tidak pernah diaktualisasikan dalam makna yang sebenarnya dalam kehidupan masyarakat Minangkabu itu sendiri. Atau, boleh dikatakan hanya sekedar pepatah, tapi tak pernah diterapkan / dimaknai dalam arti sesungguhnya, dikeseharian masyarakat Minangkabau. “Tibo di Paruik di kampiskan, Tibo dimata dipicingkan”, yang bermakna : kalau memang suatu kesalahan tersebut terjadi pada keluarga atau bahkan diri pribadi kita sendiri, maka kita seharusnya tidak membelanya tapi bahkan menyatakan kebenaran yang sesungguhnya.

Pepatah tersebut, sejatinya hendak menyatakan kepada setiap orang dan terlebih pada setiap kepemimpinan, agar memiliki sikap yang bertanggung jawab dalam menyatakan suatu kebenaran, sebagai yang benar atau sesuai kenyataannya dan menyatakan suatu kesalahan sebagai sesuatu yang salah sesuai dengan kenyataannya, sekalipun hal tersebut menimpa sanak keluarga bahkan diri pribadi kita sendiri.

Fenomena yang bertolak belakang dengan kepribadian masyarakat Minang Kabau, yang terkenal kaya dengan ungkapan-ungkapan bermakna dalam mengatur hubungan antar sesama manusia agar harmonis, sangat kontras terjadi ditengah kehidupan masyarakat Minang Kabau saat ini. Dimana, para pemimpin masyarakat dalam setiap jenjang kepemimpinan, sudah tidak lagi mencerminkan sikap-sikap seperti yang dimaksud dalam
ungkapan-ungkapan tersebut, meskipun sekarang ini mereka sedang berada dalam kondisi bencana.

Buktinya saja, para pemimpin tersebut tidak mengedapankan hal-hal yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat, ataupun mempercepat proses pemulihan kehidupan masyarakatnya. Tetapi malah, tak sedikit dari mereka yang mengambil kesempatan dalam upaya memperkaya diri sendiri maupun anggota keluarga yang masih erat hubungannya dengan dirinya. Tak sedikit pula yang dengan tega hati memberikan tekanan bagi masyarakat yang menyuarakan kebutuhannya, maupun dugaan penyimpangan yang sedang terjadi.

Yang terparah adalah usaha-usaha untuk memperbesar pembodohan masyarakatnya, dengan tidak meluaskan informasi yang sebenar-benarnya tentang penanganan dampak bencana kepada masyarakatnya. Tidak memperjuangkan apa yang menjadi kesulitan dan masalah masyarakat yang sedang ditimpa musibah, tetapi bahkan dengan tanpa rasa bersalah
mengamini dan menginstruksikan pemberlakukan biaya administrative pencairan dana bantuan gempa bumi sektor perumahan dengan mematok besaran biaya yang harus dibayarkan oleh masyarakatnya, agar masyarakat dapat menerima pencairan dana tersebut.

Mari kita berandai-andai, andaikata memang biaya administrative
pencairan dana tersebut tidak diberikan oleh pemerintah, maka sebagai pemimpin yang baik bagi masyarakatnya, seharusnya mereka memperjuangkan apa dan bagaimanapun caranya agar masyarakat tidak terbebani oleh keperluan administrative.

Seharusnya, secara logis para pemimpin tersebut juga dapat dengan pasti mengetahui dan menakar realistis tidaknya besaran dana bantuan perumahan yang diberikan oleh
pemerintah tersebut kepada masyarakatnya. Diatas itu semua, jika mereka memang para pemimpin yang amanah untuk mensejahterakan rakyatnya, maka mereka juga harus berjuang bersama masyarakatnya yang menjadi korban bencana, karena mereka juga korban sejatinya, agar pencairan dan bantuan perumahan tersebut tidak merumitkan bagi masyarakat.

Bisa sajakan, mereka berjuang bersama-sama menyatakan, layak tidaknya besaran bantuan yang akan diberikan, lalu kenapa rumah masyarakat yang sudah jelas-jelas rusak dan bahakan tidak sedikit yang rubuh akibat gempa, tetapi harus melalui banyak persyaratan administrative untuk memperolehnya, sangat ironis bagi siapapun yang mendengarnya. Apa yang harus dikhawatirkan, jika mereka memang berjuang untuk rakyat, atau para pemimpin kita saat ini tidak punya kapasitas untuk hal tersebut?

Ataukah mereka juga, sudah melupakan ungkapan yang satu ini… “Kusut ka salasai, karuah ka janiah”, bermakna : walau bagaimanapun kusutnya suatu permasalahan pasti akan selesai juga, bagaimanapun keruhnya suatu keadaan pastinya akan jernih juga. Sesulit apapun suatu permasalahan itu, pasti bakal selesai juga, sehingga tidak perlu merasa takut untuk mencoba mengatasinya.

Bila kita maknai dalam konteks sikap pemimpin yang berjuang sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyatnya yang sedang tertimpa musibah bencana dan belum sepenuhnya mampu untuk bangkit dari keterpurukan itu, tidak perlu khawatir jika mereka bersama rakyat memperjuangkan kebutuhan rakyatnya terhadap besaran dan kecepatan bantuan bencana dapat dirasakan oleh masyarakat, menimbulakan kekeruhan seluruh sistem
pemerintahan, nantinya akan kembali jernih jua.

Sejatinya, semua pribahasa masyarakat Minangkabau itu sangatlah baik sekali, jika mau mengimplemntasikannya dengan kearifan bersama masyarakat seluruhnya, tapai di zaman manusia dan demikian pesatnya perkembangan Iptek saat ini, hal tersebut semakin mengalami keterbelakangan.

Pertanyaannya sekarang ini, cerdasan mana sih sebenarnya, manusia di zaman pendahulu kita ketika mereka menghasilkan petuah dari masalah yang mereka hadapi pada ketika itu, atau di zaman kita sekarang ini yang tidak bisa berbuat sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh pepatah tersebut.

Namun yang pasti, gambaran sikap dan watak manusia pada zaman dahulu dalam memenuhi kebutuhan, serta paradigma terhadap kekuasaan adalah untuk mencerdaskan kehidupan masyarakatnya. Jelas berbeda dengan orientasi manusia kita zaman sekarang ini lebih pada kekuasaan dan kehormatan belaka, serta hasrat untuk memperkaya pribadi dan keluarga sendiri tak lagi terbendung. Hal tersebut ditunjukkan dari prinsip manusia
kita saat ini yang mengidentikkan harta kekayaan dengan kehormatan seseorang.

Demikianlah sebaliknya, bila dengan cermat kita menyimak setiap rakyat biasa mencoba untuk mengungkapkan persolan dan ide pemahamannya, dengan mudah akan diserang dengan penrnyataan : “Belum apa2 sudah sok hebat, dan sudah bisa ngomong sejauh itu”, atau bahkan jika banyak mencari dan memberikan informasi ke masyarakat lainnya, setiap masyarakat cerdas itu akan dianggap gila, bahkan diintimidasi dengan
berbagai cara.

Mari kita berpikiran maju, dengan tidak meninggalkan budaya terbaik yang kita miliki, untuk membangun kembali kekuatan masyarakat yang sejati, sebagai penentu setiap arah dan kebijakan yang menyangkut kehidupan kita sebagai rakyat.

With Love,
Anthony E S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar