Suara Anak Nagari, Sumatera Barat

Mari bangkit basamo dan berbuat yang terbaik untuk pemenuhan hak-hak masyarakat korban bencana G 30 S 2009 Sumatera Barat, Anak Nagarilah ujung tombak perjuangan dan harapan rakyat ada dipundakmu...

The Great for Sumbar

Apo Kaba Dunsanak...???

Semoga blog ini dapat menjadi media untuk mengkomunikasikan kepada anda semua masyarakat Sumatera Barat, Indonesia dan Dunia Internasional, tentang realitas penangan kebencanaan Sumatera Barat, agar dapat menjadi bahan referensi bagi kita semua dalam menghadapi persoalan-persoalan kebencanaan di kemudian hari..

Kami berharap dapat menyajikan progress pembangunan karakter Anak Nagari Ranah Minang, bangkit mandiri untuk memperjuangkan hak-haknya..

Rabu, 03 November 2010

Hak masyarakat, Tapi Kok Sulit Diperoleh..???

Setahun Masa Rehab Rekon Sumatera Barat,
1 November 2009 – 1 November 2010
Hak masyarakat, Tapi Kok Sulit Diperoleh..???


Lebih dari 90 % masyarakat Korban Bencana G 30 S 2009 Sumatera Barat, belum menerima dana rehab rekon sektor perumahan, hampir setahun dana mengendap di rekening BNPB. Sesungguhnya besaran dana yang hendak diterima tidak sebanding dengan kehancuran rumah mereka, tapi masyarakat korban dipaksa setia menunggu pengucurannya. Ironisnya, masyarakat dibebani biaya administrasi pencairan haknya tersebut, realita dilapangan sudah ditarif besarannya.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, melalui Keputusan Gubernur waktu itu Gamawan Fauzi, menyatakan masa tanggap darurat yang berlangsung selama satu bulan berakhir pertanggal 31 Oktober 2009, selanjutnya terhitung sejak 1 November 2009 sampai dua tahun kedepan ditetapkan memasuki masa Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sumatera Barat.
Menjadi catatan penting bagi semua pihak, bahwa status kebencanaan G 30 September 2009 Sumatera Barat, ditetapkan Pemerintah sebagai bencana Daerah ( Provinsi ).

Jika merujuk pada amanat UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanganan Bencana, Bab IV Kelembagaan, Bagian Kedua, Pasal 18 sampai dengan Pasal 25, yang mengatur mengenai pelaksana penanganan bencana dan pendanaannya, seharusnya kegiatan pemulihan dampak bencana menjadi tanggung jawab penuh dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Sementara Pemerintah Pusat, sifatnya hanya membantu dari sisi pendanaan jika daerah tersebut mengalami kekurangan anggaran untuk membiayai kegiatan tersebut.

Sangat disayangkan Pemerintah tidak memberikan parameter yang jelas dalam menetapkan status bencana G 30 S 2009 Sumatera Barat tersebut, sementara untuk pendanaan segala kegiatan rehab rekon disemua sektor menjadi beban dalam APBN, kecuali untuk pembiayaan rumah rusak ringan yang dipaksa untuk dibebankan kedalam APBD Kabupaten / Kota masing-masing. Sehingga tak ada satupun pos anggaran kegiatan rehab rekon ini yang dibebankan pada APBD Provinsi Sumatera Barat, lantas mengapa statusnya bencana daerah / provinsi, diamana relevansinya…???
Demikian juga halnya dengan penetapan angka Rp 15 Juta untuk setiap rumah rusak berat dan Rp 10 Juta untuk setiap rumah rusak sedang, yang dilakukan oleh Pemerintah tanpa parameter yang jelas, dengan angka yang begitu minim tersebut, masyarakat yang menerima dana tersebut juga dipaksa untuk membangun rumah yang tahan gempa.

Lebih menggelikan lagi, Pemerintah Pusat menunjuk Tim Pendukung Teknis Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( TPT – BNPB ), yang bertugas untuk :
1. Merumuskan Strategi dan Kebijakan Operasional rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana,
2. Menyusun secara rinci langkah-langkah percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca benca,
3. Membantu mengkoordinasikan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi sesuai kebijakan umum rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.

Maka yang terjadi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat hanya sebagai eksekutor atau pelaksana dari setiap produk kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dihasilkan oleh TPT – BNPB di Sumatera Barat tersebut. Fenomena bangunan kebijakan yang sangat rumit, bahkan menimbulkan berbagai persoalan-persoalan baru dan kelambanan berjalannya proses rehabilitasi dan rekonstruksi Sumatera Barat, ternyata juga membuat Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten / Kota masing-masing kelimpungan memenuhi tuntutan dari kebijakan tersebut dalam berbagai hal, terutama dalam hal pengorganisasian pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Bangunan kebijakan tersebut diciptakan sedemikian rupa, sistemis sekali dengan dalih tuntutan dari aturan keuangan Negara dan ketakutan pada KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ), seolah mengamini kelambanan proses tersebut bukanlah sesuatu yang harus dipersoalkan, seperti yang selalu dinyatakan oleh pihak TPT – BNPB dan Pemerintah Provinsi. Mengakibatkan setiap masyarakat korban bencana, dipaksa harus sabar menunggu dan juga harus memenuhi semua peraturan yang ada.

Demikian juga halnya dengan masyarakat korban bencana yang rumahnya sudah nyata-nyata roboh sekalipun, mereka harus melengkapi urusan surat-menyurat dan berPokmas-Pokmas ( Kelompok Masyarakat ), yang membuka ruang bagi oknum-oknum aparatur pemerintahan ditingkatan lokal untuk “bermain-main”. Melakukan pungutan-pungutan liar, ditengah keterbatasan informasi yang diterima masyarakat terkait proses pemenuhan administrasi pencairan dana rehab rekon yang harus mereka penuhi, menakut-nakuti dan bahkan membodohi masyarakatnya sendiri.

Realitanya, ditengah himpitan ekonomi masyarakat yang belum pulih akibat bencana dan krisis multidimensi sekarang ini, para korban bencana dituntut untuk memenuhi administrasi pencairan dana, agar dana yang menjadi hak masyarakat korban bencana itu dapat diperoleh. Pemerintah berulang kali menyatakan tidak ada pemotongan satu rupiahpun, namun nyatanya masyarakat harus membayar biaya untuk pemenuhan administrasi-administrasi, yang sudah dibuat tariffnya sedemikian rupa (berkisar antara Rp 100.000,- sampai Rp 200.000,-) oleh pihak-pihak yang secara teknis bertugas dilapangan, sebutkan saja mulai dari oknum wali korong, nagari, kecamatan dan fasilitator kelompok yang dterjunkan oleh pemerintah ke masyarakat (Fasilitator Kelompok ini sudah bergaji Rp 2.500.000,- setiap bulannya). Adapun dalih dari pihak-pihak tersebut, pemerintah tidak menyediakan berbagai keperluan untuk pemenuhan administrasi, seperti : computer dan printer untuk pengolahan data, kertas, materai, serta biaya-biaya teknis lainnya.

Sesungguhnya kembali kerumah seperti sediakala dan membangun kembali perekonomian keluarga yang sudah hancur, merupakan cita-cita terbesar dari setiap masyarakat korban bencana, sangatlah naïf jika mencurigai kesadaran masyarakat korban bencana akan pemanfaatan dana rehab rekon sektor perumahan kearah yang negative. Dana rehab rekon perumahan itu, sejatinya hak mutlak warga Negara yang ditimpa bencana dan harus dipenuhi oleh Negara ini. Tak lama lagi, masyarakat korban bencana akan mencapai titik jenuhnya juga, karena dana yang sangat mereka harap-harapkan dapat membantu mengembalikan mereka kerumah layak huni, tak kunjung datang.

Masyarakat yang telah sadar akan menuntut pada Negara untuk segara bertindak dan memperbaiki sistem penanganan bencana bangsa ini, agar masyarakat dapat benar-benar merasakan peran Negara yang melindungi dan mengedepankan kepentingan seluruh warganya, khusunya dalam kondisi bencana. Masyarakat akan mencatat dengan sangat baik, bagaimana Negara ini mengelola kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya ???

Untuk realita penderitaan masyarakat korban bencana G 30 S 2009 Sumatera Barat yang tercinta, memaksa pemerintah untuk segera mencairkan dana rehab rekon perumahan mereka.

With Love,
Anthony E S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar